![]() |
Source : Stanford arabic |
Kemudian anak itu pun menjawab, "Saya sudah khatam Al-Quran kok"
Wah enak sekali jawabannya. Serasa air mengalir tanpa hambatan. Kala itu, saya tercengang dan sekaligus terkejut. Mungkin harus bilang wow, "WOW!!!"
Jawaban yang simple tetapi dapat ditelusuri bahwa ada kesalahan fatal dibelakangnya. Belakangan, anak tersebut saya ketahui sudah menikah. Eh, ternyata dia menikah melalui jalur bebas hambatan. Maaf, orang Inggeris menamainya MBA. Apa ini karena sudah khatam Al-Quran? Apa karena itu? #Semoga Allah mengampuni kesalahan Saya. Amin.
Baiklah, malam ini saya akan memberikan pandangan saya mengenai Tingkatan Belajar Agama (Mengaji). Saya bukanlah ahli Fiqh, Hadist, atau lainnya. Sekali lagi bukan seperti itu. Tingkatan Belajar Agama yang saya maksud yaitu, Level yang hendaknya dapat diraih dan secara pribadi oleh saya dan keluarga saya.
Sejarah.....
Dahulu kala, sekitar usia anak-anak sampai dengan usia SMP kami pergi mengaji ke langgar, mushola, ataupun Masjid. Kami yakin bahwa menuntut ilmu adalah wajib hukumnya selama jiwa dan raga masih bersatu. Carilah Ilmu Hingga Ke Negeri China, begitulah bunyi pepatahnya.
Berguru dengan semangat, kami menjalani rutinas yang itu-itu saja. Awalnya, santri atau murid belajar tajwid. Kemudian belajar sholat, menghafal doa-doa harian, mandi besar, adzan, puasa, zakat, haji, rukun iman, membaca kitab Suci Al-Quran. Kami selalu berputar pada hal-hal tersebut. Rasanya, stagnan tanpa perubahan. Ada juga rekan kami yang melakukan kegiatan Mengaji dengan niat beraneka ragam. Mereka mengaji karena ingin bermain dan bersenda gurau. Hasilnya apa? Penguasaan mereka lambat. Ada juga yang hanya ingin meng-Khatamkan Al-quran. Setelah itu, selesai, tamat, dan tidak pergi mengaji lagi. Ini yang namanya salah kaprah.
Oke, tahap satu anggaplah kami sudah melampaui. Selanjutnya, pendidik kami dan majelis Takmir berinisiatif untuk memberikan materi tambahan. Mereka memberikan kami, Sejarah Nabi, Nahwu, Shorof, Akidah dan Akhlak. Pada tingkat ini, semua materi berjalan lancar. Coba Anda tebak, Materi Nahwu dan Shorof menurut saya saat itu penerapannya gagal. (ini pengalaman dalam hidup saya, jangan generalisasikan masalah ini. Ok?) mari kita lanjut.
Kegagalannya adalah, Pendidiknya sulit berbahasa Indonesia dan santrinya sulit mengerti bahasa Jawa. Sekitar tahun 2006 di Timika. Ini membuat kami tidak nyambung. Komunikasi banyak terbuang percuma. Pendidik harusnya tahu bahwa komunikasi adalah hal penting. Faktor lain adalah, tiadanya minat bagi peserta didik mengikuti materi yang baru itu. Kami merasa sangat asing dan sulit menyerap. Terakhir, ketiadaan konsistensi. Ustad bilang, "Belajar dan mengajar Agama Islam harus Istiqomah". Pengajar kami mulai hengkang dari kegiatan mengajar, sementara itu, sebagian kami mulai hengkang karena merasa sudah pintar.
Tingkatan ketiga yakni, pemahaman agama melalui literatur dan ceramah-ceramah Audio Visual. Keluarga kami mulai berlangganan majalah islami. Dari situ kami mulai belajar islam dan melihat islam lebih jauh kebelakang dan ke beberapa negara di dunia. Saya pun mulai mendengarkan siaran radio HMM (Himpunan Masyarakat Muslim "kalau ga salah ya). Saya gemar mendengarkan ceramah Aa' Gym. Kadang-kadang kami menonton ceramah di TV. Pada tingkat ini, kami belajar lebih dalam tentang islam. Satu persatu kami selami makna ayat Al-Quran melalui buku, majalah, dan ceramah para Dai. Metodenya hanya mendengar dan membaca. Kami bukan mengingat materi, tetapi merekamnya dalam alam bawah sadar. Alhamdulillah, kami merasa dekat dengan Tuhan, Allah SWT.
Sekarang, tahun 2012.
Tingkatan ke-empat setelah mengenal kehidupan kampus. Sesungguhnya, periode antara tingkat ketiga hingga keempat ini agak lama sehingga kami sempat "keos". Perbedaanya sangat nyata sekali. Keharmonisan dan ketenangan bhatin lebih berguncang. Alhamdulillah, setelah memasuki masa kuliah banyak saya temui berbagai macam wajah Islam. Suka dan tidak suka tetap saja ada berkaitan dengan realita ini.
Saya berpendapat bahwa sekarang ini adalah level untuk mempelajari Bahasa Al-Quran. Sangat konyol saya kira apabila kita membaca kalam Allah tanpa tahu makna tersirat atau pun makna tersuratnya. Saya beri contoh, banyak orang hafal doa selamat. Biasanya dibaca sehabis menunaikan sholat fardhu. Membaca tanpa mengetahui artinya sama seperti burung Beo sedang berkicau. Mulut ke Jakarta, Hati ke Madura. Dimana titik temunya. Saya pun hafal doa selamat itu. Pelan-pelan saya baca makna doa tersebut pada terjemahannya. Sekali lagi, TIDAK SAYA HAFALKAN. Walaupun tidak saya hafalkan, saya mengetahui arah dari makna pengucapan bibir saya. Metode ini saya terapkan pada ibadah yang lain. Ini menjadikan saya lebih dekat dengan Tuhan.
Mulai tahun ini, saya putuskan untuk belajar bahasa Arab. Saya sudah tidak tahan dengan metode sebelumnya yang hanya mencari pikiran dasar dari terjemahan. Saya ingin maju dan berkembang. Bagaimana mungkin Allah mengampuni saya jika seharusnya saya dimungkinkan untuk menjadi lebih baik? Insya Allah, mohon doanya agar tingkatan ini (Belajar Bahasa Arab) dapat kami lalui sebelum ajal menjemput. Sesungguhnya kami melakukannya hanya karena rindu terhadap nikmatnya beribadah. Tingkatan yang lalu sudah dilalui dan kami ingin mencintai Sang Pencipta dengan cara yang lebih bijaksana.
Proyeksi Kedepan???
Tentu menggunakan kemampuan untuk lebih akrab dengan Al-Quran. Hidup dengan Al-Quran.
Proyeksi Kedepan???
Tentu menggunakan kemampuan untuk lebih akrab dengan Al-Quran. Hidup dengan Al-Quran.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih atas komentarnya. Seumpama berbicara, saya merasa dihargai karena telah dengarkan. Semoga post ini bermanfaat bagi semua.